Sengketa Tanah Di Alastlogo, Pasuruan - Jawa Timur
A. Pengertian sengketa tanah
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons / reaksi / penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah), Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu :
"Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku".
B. Hal – Hal yang Menyebabkan Terjadinya Sengketa Tanah
Menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah:
1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
C. Pengertian
insiden sengketa tanah alastlogo
Insiden Alastlogo adalah peristiwa penembakan oleh Marinir TNI AL terhadap warga petani pada tanggal 30 Mei 2007 di Desa Alastlogo, Kecamatan Lekok, Kabupaten
Pasuruan, Jawa Timur. Peristiwa ini dipicu sengketa tanah seluas 539 hektar. Warga
Alastlogo merupakan salah satu pihak yang memperebutkan tanah seluas 539 hektar
di 11 desa di dua kecamatan, Kecamatan Lekok dan Grati yang juga diklaim PT
Rajawali Nusantara.
Peristiwa sengketa tanah
Peristiwa itu terjadi pukul
09.30. Mulanya sebuah traktor yang dikawal sepuluh personil TNI menggarap lahan
yang sudah ditanami ketela pohon oleh warga dan hendak diganti menjadi kebun
tebu. Para tentara membawa senjata laras panjang dan pistol. Bentrokan antara
warga dan marinir bermula dari upaya pembuldoseran tanaman warga di atas
tanah yang masih berstatus sengketa oleh pekerja dari PT Rajawali, sebuah
perusahaan hortikultura yang menjadi mitranya TNI AL.
Untuk menjalankan aksinya itulah, para pekerja dikawal oleh para marinir.Kemudian sekitar 50 warga Alas
Tlogo mendatangi lokasi tanah yang mau dirombak itu. Menurut Kepala Desa Alas
Tlogo Imam Sugnadi, warga hanya mau mengingatkan agar tanah yang sudah ditanami
ketela pohon itu tidak dirombak atau digarap dulu karena proses hukum terhadap
tanah belum selesai. Melihat banyak warga mendatangi lokasi penggarapan lahan, para tentara itu
gelisah, apalagi setelah puluhan warga meneriaki tentara. Tembakan peringatan
sebanyak dua kali pun dikeluarkan, setelah itu tembakan diarahkan ke arah
warga. Warga berlarian, sebagian terkena tembak dan terjatuh.
Kemudian para para tentara itu
gelap mata. Mereka menembaki rumah warga. Beberapa ibu-ibu yang sedang memasak
dan memotong ketela pohon di luar rumah ikut ditembaki. Seorang ibu bernama
Mistin (25) yang sedang menggendong anaknya Khoirul (4) ikut tertembak dan
langsung meninggal, sedangkan anaknya yang juga terkena tembakan di dada kanan
dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Sjaiful Anwar di Malang. Melihat teman dan saudaranya
ditembak, warga kemudian marah dan bergerak ke jalan utama penghubung Probolinggo-Pasuruan di Kecamatan Lekok yang berjarak dua kilometer
dari desa mereka. Beberapa pohon yang ada di pinggir jalan kemudian ditebang
warga. Ratusan warga kemudian menduduki jalan dan melarang kendaraan lewat.
Bupati Pasuruan Jusbakir yang
datang ke Desa Alas Tlogo bersama Panglima Kodam V Brawijaya Mayjen Syamsul Mapareppa membantah telah menyuruh
tentara mengusir warga.
Sengketa tanah
Berdasarkan data LBH Surabaya, konflik tanah antara warga desa Alas Tlogo dan juga
beberapa desa sekitarnya dengan TNI AL berawal dari tahun 1960-1961.
Ketika itu, lahan warga yang eks perkebunan Belanda diambil alih dengan dalih untuk kepentingan pemukiman
tentara dan juga untuk latihan perang. Namun, dalam praktiknya, belakangan
lahan-lahan itu juga disewakan kepada PT Rajawali.
Pengambilalihan lahan oleh
kalangan tentara di Indonesia berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, antara
tahun 50-58 dengan menggunakan Peperda (Aturan Darurat Perang). Tahap kedua antara 58-64
dengan tujuan nasionalisasi lahan-lahan perkebunan eks Belanda. Dan ketiga,
antara 65 hingga 70-an dengan memanfaatkan isu PKI.
Sejak tahun 1998, tanah seluas 539 hektar yang sudah digarap warga
selama puluhan tahun diklaim dimiliki PT Rajawali Nusantara. Gugatan hukum
dilayangkan warga tahun 1999 dan pada tahun itu pula PN Pasuruan memenangkan PT
Rajawali Nusantara. Perusahaan itu memiliki bukti sertifikat hak pakai. Warga memiliki bukti
kepemilikan tanah Petok D dan Letter C. Warga mengajukan banding, tetapi belum
ada putusan dari Pengadilan Tinggi Jawa Timur.
Menyusul reformasi, terjadi proses re-claiming oleh warga Alas Tlogo dan
sekitarnya terhadap tanah-tanah mereka yang sebelumnya dikuasai pihak TNI AL.
Ketika itu terjadi kesepakatan bahwa pemukiman TNI AL (Prokimal) tak akan
diutak-utik, namun lahan pertanian dikembalikan kepada warga untuk digarap.
Permasalahannya, sejak terjadi
pergantian komandan tahun lalu, terjadi kebijakan yang berbeda. Aksi kekerasan
terhadap petani kembali marak. Beberapa kali warga dilaporkan dibawa secara
paksa ke markas Marinir. Telah terjadi peruntukan lahan lantaran sebagian lahan pertanian yang diaku
milik TNI ternyata dialihfungsikan sebagai lahan pertanian hotikultura oleh PT Rajawali. Perusahaan yang antara lain
menanam tebu dan mangga ini mendapat konsesi pertanian dari pihak TNI AL.
D. Penyelesaian
Sengketa Tanah
Cara penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi yang diemban oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) yaitu :
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya
klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang
berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di
bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut
dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan
adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi
dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk
itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha
Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak Atas
Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kasus pertanahan meliputi beberapa macam
antara lain :
1. mengenai masalah status tanah,
2. masalah kepemilikan,
3. masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi
dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari
masyarakat tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini
akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan
tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah
pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data
yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang
jelas atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta
penjelasan disertai dengan data serta saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota
setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana kelengkapan data tersebut
telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah
yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan
hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang berhak
atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka
apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan
penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat
dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat
Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal
Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam
Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan
Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam
melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada
penetapan Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo
terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan
(sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak
hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain
asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di
dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang
bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke
Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat
dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan
melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional
diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara
damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu,
bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula
disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para
pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian
dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di
bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya
cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum
kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.
3. Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003
tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/
badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut
langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan
langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan
sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan
diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
yang bersangkutan.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar